Tak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup seorang diri. Bagi Hannah Arendt (1958), manusia yang hidup seorang diri – seperti budak yang tidak diizinkan untuk terjun ke dunia sosial atau makhluk barbar yang memeilih untuk tidak memiliki dunia sosial – bukan sepenuhnya manusia.
Menurut Dear dan Wolch (1989), hubungan sosial manusia dapat: diatur oleh ruang, dipaksa oleh ruang dan ditengahi oleh ruang. Jadi, lingkungan fisik memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sosial dan perilaku manusia. Dan Bell (1990) berpendapat bahwa juga kondisi suatu lingkungan berubah, maka perilaku manusia juga akan berubah.
Sedangkan William (1961) berpendapat bahwa segala keputusan yang dibuat manusia dalam kondisi tertentu dipengaruhi oleh ‘masyarakat’ dan ‘budaya’. Masyarakat dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang menempati wilayah yang relatif terbatas, berinteraksi secara sistematis dan memiliki budaya dan institusi sendiri. Dan budaya dapat diartikan sebagai ‘gaya hidup khusus’ yang mengekspresikan arti dan nilai tertentu, tidak hanya di dalam seni dan pembelajaran tapi juga di dalam institusi dan perilaku.
Tentunya, ada berbagai macam ‘gaya hidup’ atau budaya yang ada di dunia ini. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas secara khusus budaya yang cukup populer, yakni budaya kaum muda. Berbeda dengan budaya populer pada umumnya, budaya kaum muda – sering dianalogikan sebagai kaum remaja – (youth culture) merupakan sub-budaya yang berdasar pada sifat, sikap dan perilaku kaum muda. Budaya populer adalah segala ide, pendapat, perilaku, fenomena dan citra yang dilakukan oleh mayoritas manusia di dunia. Budaya populer sangat dipengaruhi oleh media massa, juga berubah dan muncul pada tempat dan waktu yang tak dapat diperkirakan. Sedangkan budaya kaum muda ialah budaya yang tercipta akibat ke-khusus-an yang terjadi pada gaya, perilaku dan ketertarikan kaum muda. Budaya kaum muda ini cenderung lebih apatis terhadap perubahan tren yang sedang terjadi di dunia.
Menurut Dick Hebdige (1979), budaya kaum muda dapat dibedakan menurut beberapa unsur. Beberapa unsur bisa terlihat secara langsung seperti gaya penataan rambut dan gaya berpakaian. Di luar unsur tersebut, diperlukan pengamatan secara seksama. Unsur-unsur yang tak dapat terlihat langsung antara lain seperti: kesamaan ketertarikan; bahasa slang dan dialek; genre musik; dan tempat berkumpul. Budaya kaum muda ini biasanya terjadi di luar institusi sosial yang telah ada seperti keluarga, rumah, pekerjaan dan sekolah. Hebdige juga menambahkan bahwa kelas sosial, gender dan etnis berperan besar dalam pembentukan sub-budaya ini.
Budaya kaum muda juga dapat diartikan sebagai ekspresi dan gaya hidup yang cenderung disimbolikasikan. Simbolisasi dalam budaya muda sering diasosiasikan dengan kesamaan yang menonjol dari suato budaya, seperti fesyen, kepercayaan, bahasa, perilaku dan ketertarikan. Sebagai contohnya, kesamaan ketertarikan dalam genre musik melahirkan budaya-budaya yang erat dengan suatu genre, seperti Punk, Gothic, Indie, Emo, Rave dan lain sebagainya.
Sejarahwan Steven Mintz (2006) mengemukakan bahwa budaya kaum muda itu tidak ada hingga tahun 1050-an. Dahulu, kaum muda (anak-anak) diarahakan untuk mengikuti budaya orang dewasa saat mereka sudah menginjak usia dewasa. Hal sependapat juga dikemukakan terlebih dahulu oleh Stan Cohen (1964) dan Dick Hebdige (1979), bahwa budaya kaum muda muncul sebagai sub-budaya yang menentang budaya kau
m dewasa yang dominan pada saat itu. Jadi, budaya kaum muda dapat dikategorikann sebagai budaya tandingan atau budaya balasan (counter-cultures).
Perkembangan budaya muda ini dikaitkan juga dengan perkembangan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan sosiologi. Teori-teori yang berkaitan dengan budaya kaum muda ini pun juga datang dari para filsuf dan sosiolog.
Erving Goffman (1961), dalam buku karangannya ‘The Presentation of Everyday Life’, melihat keterkaitan antara perilaku manusia sehari-hari dengan pertunjukkan teater. Di dalam interaksi sosial, seperti pertunjukkan teater terdapat bagian depan – tempat dimana seseorang atau sang aktor berada di atas panggung di hadapan para penonton. Bagian ini diartikan sebagai tempat dimana citra diri dan impresi yang diinginkan dapat dikedepankan. Dan terdapat bagaian belakang diartikan sebagai tempat yang tersembunyi dan privat, dimana aktor tersebut dapat berperilaku sebagai individu yang terlepas dari peran dan identitas mereka di masyarakat.
Saya mencoba mengartikan pendapat Goffman bahwa seorang manusia berperilaku sesuai dengan budaya yang berkembang di masyarakat-nya. Budaya yang berkembang di masyarakat inilah yang memberikan peran dan identitas seseorang dalam dunia interaksi sosial. Walau memiliki sisi yang berbeda sebagai individu, seseorang pasti memiliki sisi sosial yang sesuai dengan budaya yang berkembang di sekitarnya.
Stuart Hall dan Tony Jefferson (1993) berusaha mengaitkan budaya kaum muda dengan perkembangan sosial yang terjadi akibat perkembangan ekonomi. Mereka berpendapat bahwa budaya kaum muda merupakan usaha untuk menentang dan menolak hagemoni kaum borjuis. Sementara pengikut ajaran Karl Marx (Marxist) di Frankfurt School of Social Studies berpendapat lain, mereka berpendapat bahwa budaya kaum muda-lah yang menimbulkan budaya konsumerisme dan kapitalisme. Mereka juga mengemukakan bahwa budaya seperti inilah yang menyebabkan budaya-budaya kaum muda merenggang dan bermusuhan satu dengan lainnya.
Dalam bukunya ‘Postmodern Ethics’, Zygmunt Bauman (1993) juga menyatakan bahwa budaya modern di paruh akhir abad 20 – yang saya analogikan sebagai budaya kau muda – sudah bergeser dari budaya produktif menjadi budaya konsumtif. Hal ini dikarenakan adanya jaminan keamanan untuk kebebasan, kebebasan untuk membeli, kebebasan untuk mengkonsumsi dan kebebasan untuk menikmati hidup.
Jadi, secara umum, budaya kaum muda merupakan budaya yang dipengaruhi dan mempengaruhi budaya lainnya. Bidang-bidang yang memiliki keterkaitan timbal balik ini berhubungan dengan gaya hidup manusia, antara lain sosial dan ekonomi. Dan budaya iniliah yang mengatur manusia untuk membuat ruang-ruang sosial yang sesuai dengan budaya yang dianutnya. Sebaliknya, ruang-ruang yang telah mereka buat ini kembali menuntut mereka untuk bertindak dan berperilaku yang sesuai dengan budaya yang mereka ciptakan.
----------++++++++++-----------
Referensi:
Buku:
Arendt, Hannah (1958). The Human Condition, Chicago.
Bauman, Zygmunt (1993). Postmodern Ethics. Cambridge, MA: Basil Blackwell.
Carmona, Matthew; Heath, Tim; Oc, Taner & Tiesdell, Steve (2003). Public Places – Urban Spaces: the Dimension of Urban Design, Burlington.
Cohen, Stan (1964). Folk Devils and Moral Panics, Paladin, London.
Goffman, Erving (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday.
Hall, Stuart & Jefferson, Tony (1993). Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-war Britain, Routledge, London.
Hebdige, Dick (1979). Subculture in the meaning of style, Menthuen & Co, London.
Malbon, Ben (1998). “The Club” clubbing: consumption, identity and spatial prac
tices of every-night life, in Skelton, Tracey & Valentine Gill (ed.) Cool Places – Geographies of Youth Culture, Routledge, London.
Manning, Philip (1992). Erving Goffman and Modern Sociology, Stanford, CA. : Stanford University Press.
Mintz, Steven (2006). Huck's Raft: A History of American Childhood.
Slater, Don (1997). Consumer Culture and Modernity. Cambridge, UK: Polity Press.
Storey, John (2006). Cultural theory and popular culture. Pearson Education.
Web:
http://en.wikipedia.org/wiki/Youth_subculture
http://www.encyclopedia.com/doc/1O88-youthculture.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Popular_culture
http://en.wikipedia.org/wiki/Countercultural
http://en.wikipedia.org/wiki/Erving_Goffman
http://en.wikipedia.org/wiki/Consumerism
http://en.wikipedia.org/wiki/Zygmunt_Bauman
No comments:
Post a Comment